Sabtu, 25 Juli 2009

Media massa vs internet

Setelah saya menulis artikel tentang RSS dua minggu yang lalu, saya terlibat diskusi melalui email yang cukup panas dengan seorang rekan. Ia mempertanyakan mengapa kita masih harus menggaji wartawan (dengan berlangganan dan/atau melihat iklan), sementara trend saat ini adalah apa yang disebut citizen journalism, dimana berita ditulis oleh orang-orang biasa yang tidak berprofesi sebagai wartawan.
Ia memberi contoh, saat huru-hara setelah pemilu di Iran, berita tentang kekacauan itu justru datang dari twitter dan youtube yang notabene sudah diblokir oleh pemerintah Iran, sementara berbagai media massa kelas dunia seperti CNN justru terkesan seolah tidak tahu apa-apa.



Ya, jawab saya. Saat terjadi terorisme di Mumbai India, ricuh pemilu di Iran dan bom Jakarta baru-baru ini, internet terutama twitter, facebook, blog dan youtube sangat berperan dalam menyebarluaskan informasi. Namun setelah mendapat informasi (yang notabene agak simpang-siur) dari citizen journalists tadi, kemana kita akan mencari konfirmasi atau berita selengkapnya? Tetap saja ke media massa yang sudah terpercaya, yang dijamin menerapkan kode etik jurnalistik saat bekerja. Bahkan boleh saja media massa itu mendapatkan informasi awal dari citizen journalists, namun ia akan menyaring dan mengolah semua informasi itu lebih dalam dan menyajikannya dengan baik.

Saya tidak meragukan bahwa akan ada perubahan besar-besaran dalam cara kita menerima informasi. Namun saya juga yakin bahwa organisasi media masa juga akan tetap ada, tetapi tidak sama dengan yang ada sekarang atau beberapa tahun lalu. Menurut saya, jika didunia sudah tidak ada lagi semacam organisasi media yang menerapkan kode etik, maka yang kita dapatkan hanyalah 'information chaos'. Kita tidak akan tahu lagi mana berita yang kredibel dan mana yang sekedar gosip atau bahkan fitnah belaka.
Namun tak bisa dipungkiri saat ini berbagai media massa sedang berjuang untuk bisa bertahan ditengah terjangan gelombang internet. Banyak media massa yang berkurang pelanggannya, sementara jumlah kunjungan di websitenya justru meningkat. Padahal media masa "tradisional" mengandalkan dua sumber penghasilan utama berupa iklan dan uang langganan. Kedua sumber penghasilan itu menjadi tidak efektif lagi di internet karena tidak ada orang yang ingin membayar untuk mendapat berita dari internet, sementara pihak pemasang iklan biasanya hanya akan membayar jika iklannya diklik.

Yang menjadi kendala besar adalah kita sudah terbiasa mendapatkan begitu banyak hal dengan gratis di internet, sehingga kita menjadi "alergi" jika harus membayar sesuatu yang didapatkan dari sana. Bahkan mengklik iklan saja kita tidak mau kalau tidak dibayar! (Beberapa waktu yang lalu banyak orang mencari penghasilan dari internet dengan mengumpulkan sekian sen dolar setiap kali mengklik dan melihat iklan).

Mungkin media massa dapat meniru cara pembayaran yang dipakai oleh online gaming. Banyak game online yang menerapkan 'micro payment', dimana Anda dapat bermain game itu secara gratis, namun untuk memperoleh berbagai aksesori yang menarik dan membantu, Anda harus membayar sedikit uang, biasanya dari beberapa sen sampai beberapa dolar. Karena tidak harus membayar apapun, orang cenderung tertarik mencobanya. Dan setelah beberapa saat bermain dan menyukainya, kebanyakan orang tidak berkeberatan harus sedikit membayar agar dapat memperoleh pengalaman yang lebih menarik lagi.

Sampai saat ini rekan saya tadi tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa umur media masa "tradisional" sudah bisa dihitung alias "waktunya sudah dekat". Bagaimana pendapat Anda?

1 komentar:

  1. Gue wartawan, kalo gak ada koran, anak-istri gue makan apa dong???


    Dhan

    BalasHapus